Janganlah Merasa Besar
Seseorang melapor kepada Imam Ahmad :
“Wahai Imam Ahmad, semalam saya menunaikan sholat malam, saya pun menangis tersedu-sedu. Sehingga rumput yang ada di sekelilingku pun seakan tumbuh karena tangisku.”….
Imam Ahmad berkata : “Sungguh, seandainya engkau tertawa terbahak-bahak tapi engkau mengakui dosamu itu lebih baik daripada engkau menangis tersedu-sedu tapi kemudian engkau merasa besar. Sesungguhnya amalan orang yang ujub itu tidak akan pernah naik ke langit…”
Janganlah Merasa Besar
Seseorang melapor kepada Imam Ahmad :
“Wahai Imam Ahmad, semalam saya menunaikan sholat malam, saya pun menangis tersedu-sedu. Sehingga rumput yang ada di sekelilingku pun seakan tumbuh karena tangisku.”
Imam Ahmad berkata : “Sungguh, seandainya engkau tertawa terbahak-bahak tapi engkau mengakui dosamu itu lebih baik daripada engkau menangis tersedu-sedu tapi kemudian engkau merasa besar. Sesungguhnya amalan orang yang ujub itu tidak akan pernah naik ke langit…”
(Lihat : Ighotsatul Lahfan/Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah).
Kisah di atas mengabarkan kepada kita bahwa amalan yang dilakukan dengan perasaan bangga atau ada perasaan besar setelah mengerjakannya, justru membuat amal itu sia-sia dan tidak bernilai.
Sebab bangga (ujub) adalah penyakit perusak amal, sekaligus bibit dari kesombongan.
Bangga atau merasa paling baik bisa muncul karena beberapa hal :
1. Bisikan Syetan
Seringkali syetan membisikkan ke dalam diri kita perasaan “wah” atau perasaan hebat seusai kita melakukan sedikit saja dari sebuah ketaatan.
Kita baru saja bisa merutinkan sholat malam selama beberapa hari saja, lalu kita sudah merasa yang paling hebat.
Kita baru saja bisa membiasakan untuk berpuasa sunnah, maka kemudian kita sudah merasa yang paling hebat.
Kita baru saja bisa mengkhatamkan Al Qur’an sekali dalam setiap bulan, lalu kita sudah merasa paling hebat, dan lain sebagainya. Karena itu, waspadalah terhadap bisikan syetan.
Selalu ingatlah pepatah di atas langit, masih ada langit. Jangan pernah merasa bangga atas amalan-amalan kita, karena kalaupun kita ingin menghitungnya, apalah arti semua itu dibandingkan amalan orang lain? Seharusnya kita dapat melihat dan merenungi, mengapa mereka yang memiliki amalan yang jauh lebih berkualitas daripada kita tak pernah merasa bangga akan amalannya? Tapi, kita? Yang baru bisa sholat malam beberapa hari saja sudah merasa hebat?
2. Pujian
Pujian tak diragukan membuat seseorang menjadi besar kepala dan lupa diri. Pujian kalau tidak disikapi dengan baik justru akan menghancurkan orang yang dipuji.
Oleh karena itu syariat menganjurkan agar kita menaburkan debu ke muka orang yang memuji. Kembalikanlah pujian itu kepada Dzat yang telah menciptakan kita. Karena memang hanya Dia-lah satu-satunya yang patut menerima pujian itu.
3. Posisi dalam Masyarakat
Kadang dalam hidup bermasyarakat, ada di antara kita yang kemudian diposisikan di “atas”, dituakan dan dijadikan sandaran bagi yang lainnya. Tidak ada salahnya memang, tapi hal ini rawan terhadap perasaan ujub (merasa paling baik).
Orang kemudian akan menaruh hormat, akan mengadukan semua persoalannya kepada kita dan sebagainya, sehingga hal ini akan menimbulkan perasaan bahwa dirinya paling baik daripada yang lainnya.
Dudukkanlah diri berada di tengah-tengah masyarakat umum sekalipun kita menjadi petinggi mereka. Jangan sampai seolah kita duduk di atas kepala mereka. Mengapa kita tidak pernah ingat, siapa yang telah memberikan kita kedudukan tersebut?
Akhir kata, beramal bukanlah untuk dibanggakan kepada manusia. Karena kebanggan yang hakiki itu adalah kebanggaan kelak ketika kita dapat dikumpulkan dengan barisan orang-orang yang ikhlas di padang masyar yang sedang mengantri tiket menuju syurga.
Referensi : http://forantum.blogspot.com