Surat Al-Kafirun dan toleransi beragama
Oleh: Saefudin
Ketika Islam mulai berkembang di kota Mekah, diikuti bukan hanya oleh golongan rendah (hamba sahaya) tetapi juga oleh golongan tinggi (bangsawan), menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian tokoh kafir Quraisy seperti al-Walid Ibnu al-Mugirah, Aswad Ibnu ‘Abdul Muthalib dan Umayyah Ibnu Khalaf (Tafsir Al-Misbah oleh Quraisy Sihab).
Menurut prasangka mereka gerak langkah Muhammad Saw, dengan Islamnya akan mengganggu stabiltas sosial dan kedudukan mereka di mata masyarakat. Bagaimana tidak, seorang budak di saat itu dianggapnya sebagai manusia kelas rendah yang bisa disamakan dengan barang komoditas yang bisa diperjualbelikan, kemudian Islam mengangkatnya menjadi manusia yang berkedudukan sama dengan mereka.
Kehadiran Islam juga dikhawatirkan akan merontokkan dominasi penyembahan terhadap berhala-berhala yang selama ini sudah menjadi pengikat kehidupan meraka.Karena itu mereka , para tokoh kafir Quraisy berusaha untuk menghentikan da’wah nabi Muhammad saw, dengan cara menawarkan imbalan harta, wanita dan kedudukan (jabatan) kepada nabi . Melalui pamannya, Abu Thalib, mereka meminta agar Abu Thalib mampu menghentikan keponakannya itu agar tidak menyebarkan “ agama baru” kepada masyarakat.
Namun apa jawaban nabi ?
Nabi bersumpah; “Demi Allah, meskipun mata hari di tangan kananku, bulan di tangan kiriku, aku tidak akan berhenti melaksanakan da’wah ini.”
Jawaban Nabi tersebut tentu mengecewakan para tokoh kafir Quraisiy. Tetapi mereka tetap berusaha kembali membujuk nabi Muhammad saw. Apa sekarang yang ditawarkan mereka kepada Nabi ?
“Sesekali kami mau mengikuti agamamu Muhammad, menyembah tuhan yang kamu sembah. Tetapi di lain waktu , kamu bersama pengikutmu harus mengikuti agama kami dan menyembah tuhan-tuhan kami. Jika agamamu yang benar, setidaknya kami dapat keuntungan. Demikian juga jika agama kami yang benar, kamu tentu juga akan mendapat keuntungan.” Demikan tawaran kafir Qauraisy kepada Nabi Muhammad saw.
Sepintas memang tawaran kafir Quraisy untuk kerjasama dan kolaborasi dalam beragama cukup menggiurkan dari sisi toleransi. Tetapi hal itu langsung dijawab oleh Allah dengan diturunkannya Q.S. Al-kafirun yang artinya sebagai berikut:
“Katakan (hai Muhammad): Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah tuhan yang kamu sembah, demikan pula kamu tidak akan menyembah tuhan yang kami sembah” (Ayat 1 dan 2)
Dari jawaban Allah tersebut jelas tidak ada kolaborasi dan kerjasama dalam penyembahan (aqidah dan ibadah). Toleransi yang harus kita tunjukkan dalam aqidah dan ibadah hanya sebatas menghargai dan membiarkan atau tidak mengganggu umat lain dalam memelihara aqidah dan melaksanakan ibadanya. Hal ini dijelaskan dalam ayat terakhir (ayat 6 surat Al-kafirun), “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Bagaimana dengan ucapan selamat natal atau menggunakan atribut agama lain bagi seorang muslim ?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu terlebih dahulu dipahami bahwa ajaran Islam secara garis besarnya terdiri dari tiga dimensi, yaitu dimensi aqidah, dimensi ibadah dan dimensi muamalah (sosial kemanusiaan). Seperti dijelaskan di atas, koloborasi dan kerjasama dalam dimensi aqidah dan ibadah hukumnya haram. Contoh misalnya seorang muslim ikut atau ikut-ikutan melaksanakan ritual/ ibadah agama lain.
Sedangkan mengucapkan selamat natal atau mengenakan atribut agama lain, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan ini tergantung dari sikap kehati-hatian mereka dan dari sisi mana mereka memamandangnya.
Kelompok yang mengharamkan memandang bahwa mengucapkan selamat natal dan menggunakan atribut agama lain termasuk ranah aqidah. Karena hal ini sama dengan membenarkan atau menyetujui apa yang diyakini oleh umat lain. Mereka khawatir seandainya ini dibolehkan akan membahayakan aqidah umat Islam Indonesia yang sebagian besar masih awam. Ibarat orang tua yang membolehkan anaknya berdiri di pinggir pantai, lama kelamaan ia akan mencoba untuk turun ke laut.
Sedangkan kelompok yang membolehkan memandangnya dari dimensi muamalah. Artinya mengucapkan selamat natal dan mengenakan atribut agama lain dipandangnya hanya sebatas hubungan sosial kemanusian, tidak dijadikan sebagai keyakinan atau pembenaran terhadap keyakina umat lain. Meminjam istilah Prof. Dr. Quraisy Shihab, hal ini hanyalah sekedar “ basa-basi,” (http://www.tribunnews.com/ minggu, 21 Desember 2014) tidak dimasukkan ke dalam hati. Dengan kata lain, berarti tergantung kepada niatnya.
Disinilah pentingnya saling menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Toleransi interen umat Islam sendiri, antara kelompok yang mengharamkan dan yang membolehkan mengucpkan selamat natal atau mengenakan atribut agama lain. Demikian pula umat agama lain (khususnya kristiani) dapat kiranya memaklumi dan menghargai terhadap kelompok Islam yang mempunyai keyakinan akan haramnya menyampaikan ucapan selamat natal atau mengenakan atribut agamanya. Tidak mengklaim bahwa kelompok itu tidak toleran atau menuduhnya sebagai aliran radikal yang harus dijauhi dan ditakuti.
Wallahu A’lamu
Identitas Penulis:
Nma : Saefudin
Tempat/Tgl. Lahir : Bogor, 7 Juli 1962
Nomor KTP : 3674040707620004
Pekerjaan : Guru Agama Islam SMAN 108 Jakarta
Alamat : Kp. Maruga Rt. 006/004 Serua Ciputat Tangsel Banten
Nomor HP : 081291159705 / 085779376731
e-mail : [email protected]
Alamat Tempat Tugas: SMAN 108 Jakarta Jl. Kesadaran Ulujami Raya Pesanggrahan Jakarta Selatan Telp. 7376876, Fax (021) 7377764