I’tibar di Balik Mati Lampu
Oleh: Abdul Mutaqin
Menjengkelkan. Begitulah seringkali muncul perasaan apabila lampu padam. Sebuah sikap spontan di tepi sabar yang seolah terkikis oleh hilangnya cahaya. Ekspresi jengkel pun membuntuti dengan polah yang beragam. Dari yang wajar sampai kepada yang berlebihan.
Setiap saat hasil budaya dan teknologi melaju dengan cepat. Tetapi kesiapan mental untuk menghadapinya hampir-hampir berjalan merangkak. Sebelum lampu listrik menerangi rumah-rumah kita, kita jarang mengeluh bila malam tiba. Gelap yang merayap perlahan menjumpai Maghrib sampai Isya hingga menjelang Shubuh, kita sikapi dengan amat bersahaja. Kita masih rela pergi ke Surau dan Masjid untuk berdiri dalam shaf-shaf jamaah lalu mengaji meskipun hanya diterangi cahaya bulan atau lampu minyak. Lampu petromak sungguh sangat mewah kala itu.
I’tibar di Balik Mati Lampu
Oleh: Abdul Mutaqin
Menjengkelkan. Begitulah seringkali muncul perasaan apabila lampu padam. Sebuah sikap spontan di tepi sabar yang seolah terkikis oleh hilangnya cahaya. Ekspresi jengkel pun membuntuti dengan polah yang beragam. Dari yang wajar sampai kepada yang berlebihan.
“Mamaaa, takuuut. Huuuu. Aku ga bisa lihat apa-apa. Mama di manaa …”.
”Masya Allah, mati lampu. Padahal cuaca bagus. Mungkin ada gangguan”.
“Yah, mati lagi. Ga siang ga malam. PLN sial. Iuran aja ga boleh telat. Pelayanan ga pernah meningkat. Ngakunya rugi melulu. Dikorup tuh!”.
Setiap saat hasil budaya dan teknologi melaju dengan cepat. Tetapi kesiapan mental untuk menghadapinya hampir-hampir berjalan merangkak. Sebelum lampu listrik menerangi rumah-rumah kita, kita jarang mengeluh bila malam tiba. Gelap yang merayap perlahan menjumpai Maghrib sampai Isya hingga menjelang Shubuh, kita sikapi dengan amat bersahaja. Kita masih rela pergi ke Surau dan Masjid untuk berdiri dalam shaf-shaf jamaah lalu mengaji meskipun hanya diterangi cahaya bulan atau lampu minyak. Lampu petromak sungguh sangat mewah kala itu. Jarang sekali yang emosional berhadapan dengan gelap, meskipun lampu harus mati karena kehabisan minyak. Tetapi jama’ah tetap gemuk. Orang mengaji tetap semarak. Masjid menjadi tempat yang amat hidup di antara Maghrib dan Isya, kemudian semarak lagi pada saat shalat Fajar di pagi buta.
Semenjak Neon dan Bohlam menggantung di langit-langit rumah, di Masjid-Masjid atau di Surau-Surau, manusia seolah enggan menikmati suasana malam. Bahkan pobia gelap. Ada kemunduran sikap mental setelah teknologi berhasil menggubah “habis gelap terbitlah terang”. Perubahan itu, amat mencolok.
Saat aliran listrik menjalar lancar dan cahaya lampu memenuhi setiap sudut rumah menjelang Maghrib, anak-anak lebih memilih bersila di depan televisi atau layar facebooknya. Sinetron, gossip, badut pengocok perut, musik, berita, sepak bola, sulap, ramalan atau debat kusir telah menggantikan “imam” Masjid dan Surau. Atau paling minim bergegas meninggalkan wirid dan ba’diyah agar tidak ketinggalan setiap episode acara pavoritnya. Masjid dan Surau jarang lagi terdengar gaung lantunan orang mengaji. Hanya cahaya lampu gantungnya yang mewah menyirami Masjid dengan aneka warna kristalnya yang kelap-kelip. Masjid dan Surau seolah ”mati” dalam terang.
Tapi tentu, dan harapan kita, ini hanyalah kenyataan pukul rata. Masih ada keluarga muslim yang tidak terjebak emosional karena teknologi. Mereka masih seperti dulu, setia dengan panggilan ketaatan saat kumandang adzan menggema. Masih setia membunyikan rangkaian huruf-huruf Hijaiyyah selepas Maghrib menjelang Isya. Begitu juga masih ada banyak Masjid dan Surau yang tetap semarak. Sebagai ”Baitullah” dan pusat pusaran yang menarik bagai magnet setiap hati yang selalu bergantung pada-Nya. Bahkan ketika listrik padam, spiritnya tetap menyala.
Gelap karena sebab apapun sebenarnya adalah satu tanda dari ayat-ayat keagungan Allah. Dan manusia beriman tidaklah gagap dalam menghadapi penomena gelap. Pertama, karena orang beriman amat menyadari bahwa pengalaman hidupnya justru dilewati dari kegelapan. Di alam kegelapan itulah tubuhnya dibentuk dan ruhnya ditiupkan. Manusia merasakan rasa aman, nyaman dan hangat di tempat yang kokoh; rahim. Masa itu dilewatinya selama lebih kurang sembilan bulan. Masa itu adalah masa gelap yang paling istimewa dalam kandungan ibu.
Kedua, gelap adalah instrumen untuk mengukur kadar kebajikan. Apakah ia akan tetap cukup memiliki cahaya ketika akan masuk ke dalam ruang gelap liang lahad sehingga alam barzakh itu akan tetap terang, nyaman, luas dan hangat seperti kandungan ibu karena kebajikan dan imannya menjadi suluh baginya. Di sinilah hati yang penuh iman akan selalu tergerak untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya sumber cahaya sebagai teman yang akan menemaninya terbaring kaku di perut bumi nanti sampai waktunya ia dibangkitkan. Begitu nikmatnya ia di komplek pekuburan, sampai-sampai ia merasakan betapa cepatnya kiamat terjadi. Bagaikan orang yang terjaga dari tidur sekejap saja seraya berujar, ” Ah, cepat sekali waktu berlalu. Rasanya baru beberapa jam saja aku terlelap”. Padahal bisa jadi, ia telah terbaring ribuan tahun yang lalu terhitung sejak nafasnya berhenti.
Hati yang penuh iman selalu beramal saleh agar kuburnya tidak menjadi kegelapan kedua tetapi menyengsarakan. Layaknya ruang bawah tanah tanpa ada secuilpun lubang cahaya, ditambah lagi dengan siksanya yang pedih dan seperti tak berkesudahan. Sehingga sering mereka memohon untuk dikembalikan ke dunia untuk menjadi mushalli, atau berinfak atau menjadi orang soleh dan berharap kapan kiamat segera datang.
Kegelapan inilah yang membuat telinganya selalu menangkap dengung pesan Nabi. ”Berhati-hatilah kalian pada perbuatan zalim. Sebab kezaliman adalah kegelapan pada hari kiamat”.
Ketiga, kegelapan fisik dengan segala manifestasinya hanyalah sinyal untuk kembali menangkap pesan Tuhan, bahwa manusia tidak bisa menyandarkan keselamatan hidupnya hanya dengan kekuatan fisik sebab ia sangat terbatas. Mata barulah berfungsi apabila ada cahaya yang memantul ke retina dan menangkap bayangan di depannya. Tetapi, apabila cahaya itu hilang, hilang pulalah fungsi mata itu. Maka gelaplah sepanjang jarak pandang yang buta. Di sini menjadi terang, mengapa banyak orang yang histeris ketika lampu mati.
Lalu mengapa banyak orang yang melek tetapi hakikatnya buta? Yaitu mereka yang tidak sanggup menangkap atau enggan menangkap kebesaran Allah melalui penglihatannya. Penglihatannya tak pernah sejuruspun mengarah ke Ka’bah, tetapi dihabiskan untuk hal-hal yang mengundang nafsu birahi dan kepuasan sesaat. Maka alangkah ruginya bola mata itu jika hanya mengikuti nafsu. Dan sungguh amatlah beruntung orang yang buta bola matanya, tetapi memiliki ketajaman menangkap cahaya iman. Manusia mulia seperti Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu ’anhu amatlah beruntung. Orang seperti ini adalah sesabar-sabarnya mahluk di saat lampu mati dan tidak pernah bergantung kecuali pada cahaya imannya.
Akhirnya, gelap memang mengundang sejuta respon. Ada yang enggan. Ada yang biasa saja. Ada juga yang sengaja ingin “gelap-gelapan”. Yang pasti semuanya ingin tetap terang sampai liang kubur dan pada hari di mana manusia mempertanggungjawabkan amalnya sendiri-sendiri.
Semoga kita adalah orang yang bermandi cahaya sepenuh hidup yang fana’ sampai yang baqa’. Allahu a’lam.
Ciputat, Nopember 2009.
Menjelang Ashar
benar.. kita hanya manusia yang lemah, tak pantas untuk bersombong diri